Taman Surga

Di balik sebuah jalan kehidupan yang terkadang kelam dan terang, kini aku berada di tepian jurang tanpa dasar yang ku sebut dengan sebuah jalan pilihan. Sebuah jalan pilihan dalam hidup yang aku sendiri pun tak tahu akan di mana jalan yang penuh dengan jurang di sisi kanan dan kirinya ini bermuara.

Di ruang ini aku terperangkap, terkekang dan terkurung. Di sebuah ruang yang hanya berukuran sekitar 3 x 4 meter inilah aku habiskan hari-hariku tanpa ku tahu sampai kapan aku akan berada di sini. Hanya sinar mentari yang masuk dari sela-sela ventilasi yang menjadi temanku kala pagi menjelang dan hanya cahaya dari sebuah lampu yang menjadi temanku di kala malam tiba. Dan hanya sehelai kain tipis yang ku kenal sebagai selimut inilah yang menjadi penghangat tubuhku di kala udara dingin menghampiri bersamaan dengan jatuhnya hujan yang diiringi oleh suara petir dan kilatan cahaya yang menakutkan.

Di kala pagi menjelang, aku selalu takut dengan sesosok makhluk yang selalu menghampiriku. Apa dia malaikat maut? Ku rasa tidak, karena ku percaya jika malaikat maut tak berpakaian serba putih. Lalu, apa dia setan? Sepertinya juga bukan, karena ku percaya jika setan tak menginjak tanah. Tubuhnya memang terlihat tegap, potongan rambutnya cepak seperti tentara, dan dia berpakaian serba putih layaknya para ulama. Mereka selalu menjemputku. Ya, mereka. Dua sosok makhluk dengan gaya dan penampilan yang sama persis selalu menyeretku keluar dari ruangan yang meyiksa batinku ini. Memang, mereka mengeluarkanku dari ruangan yang membuatku terbelenggu, dan untuk itu aku berterimakasih. Tapi, kebebasan yang sedang ku rasakan ini hanya sebentar karena mereka terus menarik dan mendorongku tanpa menghiraukan sedikit pun rontaan dan teriakanku yang bisa menggetarkan gendang telingaku sendiri. Suara memekik yang sanggup menarik urat leherku ini hingga aku merasakan sakit tak digubris sedikit pun.

Dengan tenaga yang lebih besar, mereka terus saja memaksaku melewati sebuah lorong dengan pintu-pintu yang tertutup rapat di tiap sisinya hingga aku tiba pada sebuah ruangan. Sebuah ruangan yang sebenarnya jauh lebih luas dan lebar jika dibandingkan dengan ruangan yang baru saja aku tinggalkan. Namun ruangan ini begitu basah, dingin dan menyeramkan bagiku. Kemudian aku dibawa masuk ke dalam. Mereka mulai menarikku dan membuka paksa seluruh pakaian dari tubuhku hingga tak ada sehelai benangpun yang menutupi kulit coklatku ini. Yang tersisa hanyalah celana dalam yang menutupi kemalu*nku.
Aku terduduk di atas lantai yang terasa begitu basah dan lembap. Inilah saat-saat di mana aku merasa layaknya seorang tawanan perang. Air yang begitu dingin dan mampu menusuk kulit itu langsung diguyur ke seluruh tubuhku terus menerus. Air itu terasa begitu menusuk kulitku hingga pembuluh darahku pun terasa begitu beku. Jeritanku setiap kali air itu menyentuh kulitku tak mereka hiraukan sedikit pun. Entah kenapa air seperti momok dalam hidupku semenjak aku dimasukan ke dalam lingkungan seperti ini. Lingkungan dengan orang-orang yang selalu menjerit sepertiku. Lingkungan yang dipenuhi dengan orang-orang yang tak lagi bergairah untuk hidup. Sebuah lingkungan yang dikenal dengan sebutan “Panti Rehabilitasi”.

Ya, aku adalah mantan seorang pecandu yang baru saja masuk ke lingkungan ini sejak tiga hari yang lalu. Namaku David dan aku berumur 21 tahun. Di sini rasanya begitu menyiksa. Aku seperti berada di neraka, walaupun aku sendiri belum tahu bagaimana bentuk neraka Tuhan yang sebenarnya. Rasanya jika aku bisa memilih, maka aku akan memilih berada di balik jeruji besi daripada aku harus berada di sini. Rasanya di sana tergambar lebih nikmat jika dibandingkan di sini. Aku berbicara seperti ini karena memang sebelumnya aku pernah terkurung di balik jeruji besi. Di sana aku masih bisa bebas mengkonsumsi obat-obatan terlarang yang membuatku seperti ini sekarang, seorang pecandu. Aku pun tak pernah merasakan berada di balik jeruji besi itu lebih dari tiga hari. Aku selalu bebas saat ayahku datang dan memberikan setumpuk kertas yang bergambarkan Pak Presiden dan wakil Presiden pertama Indonesia dengan jumlah yang tak sedikit kepada petugas yang memenjarakanku. Berbeda dengan kondisiku saat ini yang terperangkap di dalam panti rehabilitasi. Aku tak pernah bisa lagi mencicipi obat-obat terlarang itu lagi hingga tubuhku menjadi lemas tak berdaya seperti ini. Jantungku terasa begitu cepat memompa darah yang mengalir ke seluruh tubuhku. Rasanya pembuluh darahku juga begitu beku. Rasanya begitu dingin di dalam tubuh ini hingga membuat tubuhku menggigil dan membuat darah yang mengalir di tubuhku seperti sedang bergejolak. Membuat seluruh tubuhku bergetar dan menggigil dengan sendirinya. Inilah yang membuat tubuhku bahkan tak kuat menerima air yang masuk ke tubuhku melalui pori-pori yang ada di kulitku.

Obat-obatan terlarang itu kini telah merusak tubuhku dan juga hidupku. Rasanya lebih baik aku mati daripada aku harus tersiksa seperti ini. Obat-obatan terlarang atau yang biasa disebut nark*ba ini memang telah memberikan kenikmatan duniawi di dalam hidupku. Tapi itu hanya sebentar, karena kenyataannya aku harus hidup dengan itu. Semenjak aku terjebak di dalamnya, nark*ba layaknya oksigen yang harus ku hirup. Tanpanya tubuh ini akan terasa lemas dan mungkin akan mati. Ya, nark*ba itu telah membuatku berada di tepian jurang tanpa dasar. Sebuah jalan kehidupan yang aku pilih sendiri, dan kini aku menyesalinya. Andai aku dapat memutar waktu, aku pasti tak akan menyentuh benda haram itu sedikit pun dalam kehidupanku. Tapi apalah dayaku saat ini? Aku hanya bisa menyesali semuanya dan tak bisa lagi memutar waktu. Semua orang-orang terbaik yang pernah ada di sisiku perlahan pergi menjauh dari hidupku semenjak aku diketahui sebagai seorang pecandu. Bahkan teman-temanku yang membawaku ke dunia yang kelam ini pun tak pernah terlihat lagi. Kecuali keluargaku.

Mereka selalu berada di sisiku dan selalu memberikan semangat untukku. Bahkan orangtuaku tak menghiraukan cacian dan hujatan orang-orang yang menghardikku. Yang mereka hiraukan saat ini hanyalah aku. Ya, aku! Anak yang masih mereka sayangi. Pernah aku berada di posisi paling bawah pada roda kehidupan ini. Aku terpuruk dan tak lagi ingin hidup karena aku merasa tak kuat lagi untuk berhenti dari barang haram itu. Aku mencoba mengakhiri hidupku sendiri, tapi tak berhasil. Entah karena Tuhan masih sayang padaku atau aku memang masih terlalu kotor untuk menghadapnya. Setelah itulah aku langsung dilarikan ke panti rehabilitasi ini. Dan saat aku terpuruk ibuku pernah berkata padaku, “Sayang, jangan menyerah. Jangan pernah menyerah. Karena Mama dan Papa akan selalu berada di dekat kamu. Bahkan ketika kamu berada di tepian neraka sekalipun, Mama dan Papa akan selalu berada di dekatmu nak.” Itulah kata-kata dari ibuku yang selalu membuatku merasa beruntung terlahir ke dunia ini sebagai anaknya. Rasanya aku benar-benar menjadi orang yang paling bersalah di dunia ini karena telah mengecewakan orangtuaku yang benar-benar tulus menyayangiku tanpa mengharapkan sebuah imbalan sekalipun.

Semenjak itulah aku membuat perjanjian pada diriku dan kepada Tuhan jika aku tak akan menyerah untuk melepaskan diri dari jeratan barang haram itu. Memang aku pernah melupakan Tuhan di setiap langkah yang aku ambil dalam kehidupanku. Tapi pernah juga aku ingin mendekatkan diri padaNya namun di sisi lain aku tak ingin lepas dari jalan kebatilan yang menjanjikan surga dunia saat itu. Ya, surga dunia memang sangatlah menggoda jika dibandingkan dengan surga akhirat yang hanya kita ketahui dari sebuah kitab. Mungkin karena itulah aku mudah terhanyut dalam angan-angan keindahan surga duniawi yang sifatnya hanya sementara ini.

Kini aku tak lagi berada di tepian jurang yang tak berdasar. Kini aku sudah berada di sebuah taman dengan bunga-bunga yang bermekaran dan sungai-sungai jernih yang mengalir di bawahnya. Kupu-kupu banyak yang menari-nari di sekitarku mengiringi sebuah nyanyian dari burung camar. Tuhan pun telah memberikanku pendamping yang begitu cantik menemaniku di taman surga ini. Tapi kali ini orangtuaku tak berada di dekatku. Mereka berada jauh di sana. Bukan, bukan karena mereka ingkar dengan janji mereka, tapi karena aku yang tak mengijinkan mereka untuk menyusulku. Belum saatnya, karena mereka masih harus melanjutkan hidup mereka di dunia. Mungkin inilah tanda dari Tuhan jika dia sudah tak lagi menganggapku terlalu kotor untuk menghadapnya. Dan ini juga sebagai tanda dari Tuhan jika Dia benar-benar sayang kepadaku, hambanya yang pernah berbuat dosa. Sebuah tobat memang tak pernah dianggap terlambat oleh Tuhan, karena itulah Tuhan mau menaruhku di taman surga ini ditemani dengan semua keindahan yang pernah Dia janjikan.
-sekian-
Cerpen Karangan: Rahardian Shandy
Blog: komedi-romantis.blogspot.com
Facebook: Rahardian Shandy
Twitter: @shandyrahardian


Labels : news investment systems Anti Vir free template car body design

0 Response to "Taman Surga"

Posting Komentar